Syaikhut Tarbiyah, KH
Rahmat Abdullah:
"Ikhwanul
Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah"
Usianya belumlah setengah
abad. Tapi pembawaannya yang tenang kebapakan serta rambut dan janggutnya yang
sebagian telah memutih, mengesankan pria kelahiran Jakarta, 3 Juli 1953 ini
lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sehingga cukup pantas bila ia kerap
dituakan dan disegani oleh lingkungan pergaulannya.
Dalam publikasi acara
Seminar Nasional "Tarbiyah di Era Baru" di Masjid UI, Kampus UI
Depok, awal bulan lalu, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai
pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah;
sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan
aktivis da'wah dan harakah (pergerakan) selama ini.
Ketika dikonfirmasi Sahid
tentang jabatan tersebut, sambil tersenyum dan merendah Rahmat membantahnya.
Menurut Ketua Yayasan Iqro' Bekasi ini sebutan tersebut hanyalah gurauan
panitia yang kebetulan telah akrab dengannya. Rahmat sempat mengajukan
keberatan kepada panitia, tapi ternyata publikasinya sudah terlanjur disebar.
Akhirnya ayah dari tujuh putra-putri ini cuma bisa balik bergurau,
"Adik-adik mau nyindir bahwa saya sudah kakek-kakek ya? Syaikh itu kan
dalam bahasa Arab artinya kakek."
Boleh jadi jabatan Syaikh
Tarbiyah itu, seperti diakuinya, cuma gurauan atau sindiran panitia. Tapi
banyak orang percaya sejatinya suami Sumarni HM Umar ini memang orang yang
dituakan dalam gerakan yang bernama Tarbiyah. Apalagi mengingat di kepengurusan
Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat sebagai Ketua Majelis Syuro dan
Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti dimaklumi, PK didirikan dan disokong
oleh para kader Tarbiyah.
Dalam seminar nasional
yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah, Rahmat mengawali acara
dengan orasi bertajuk "Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah di Indonesia
dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan." Dalam kesempatan tersebut
dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di
Indonesia.
Dalam kancah pergerakan
Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah belum populer di kalangan masyarakat
awam. Kata tarbiyah lebih biasa dilekatkan orang pada Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti), sebuah ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat dan
pernah menjadi partai Islam.
Namun bagi orang yang
akrab dengan gerakan da'wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan itu.
Di era '80-an dan '90-an gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, karena akrabnya
aktivis Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam di
Mesir yang pengaruhnya telah mendunia.
Dari orasi yang disampaikan
Rahmat, memori orang terpanggil lagi pada kenangan 20 tahun ke belakang ketika
aktivis Tarbiyah merintis gerakan ini di kampus-kampus dan sekolah-sekolah.
Salah satu tandanya adalah merebaknya pengajian usrah dan halaqah di
kampus-kampus. Tonggak lainnya, mulai maraknya pemakaian jilbab oleh para siswi
dan mahasiswi yang mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan yang alergi
terhadap syariat Islam. "Gedung sekolah dan semua peralatan sekolah,
termasuk Departemen Pendidikan yang dibangun 90% dananya dari ummat Islam,
harus mengusir putri-putri Islam karena mereka menggunakan busana demi
melaksanakan perintah agama mereka," ungkap murid kesayangan almarhum KH
Abdullah Syafi'i ini dalam orasinya.
Begitu banyak pahit getir
yang dirasakan, sehingga ada sebagian kader yang terputus dari jalan
perjuangan. Tapi banyak pula yang bersabar, terus bermujahadah menempa diri dan
menabung amal, bertahan hingga kini, menyemai insan dakwah ke seluruh pelosok
negeri. Hasilnya antara lain, jilbab jadi pakaian jamak bagi wanita di negeri
ini. Dari yang benar-benar penuh kesadaran berislam hingga yang masih
ikut-ikutan lantaran telah jadi mode.
Tentu saja itu semua
bukan cuma hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di
Tarbiyah. Tapi harus diakui saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain
telah memberi itsar (bekas) perjalanan da'wah yang mengesankan di zamrud
katulistiwa tercinta ini.
Bagaimana sejarah
bermulanya harakah ini? Apakah benar terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang
didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi Utomo dan
Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana nan asri
di Kompleks Islamic Village Iqro', Pondok Gede, Bekasi, kiai yang ramah ini
membeberkannya untuk Anda, para pembaca. Berikut ini kutipan dari sekitar tiga
jam perbincangan dengannya. Selamat mengikuti.
Dengan menggelar seminar
"Tarbiyah di Era Baru", gerakan Tarbiyah tampaknya mulai membuka diri
secara terang-terangan. Bahkan tahun ini dicanangkan sebagai 'Aam (Tahun Kebangkitan)
At-Tarbiyah. Apa latar belakangnya?
Bismillah, sangat
disadari bahwa setiap fase perjuangan itu menuntut sikap-sikap sesuai dengan
fase-fase tersebut. Sehingga ada doktrin dalam Tarbiyah yang disebut, likulli
marhalatin mutaqallabatuhaa (setiap fase itu ada tuntunannya); kemudian li
likulli marhalatin muqtadhayatuhaa, (setiap fase ada konsekuensi yang harus
dilahirkannya), dan likulli marhalatin rijaaluhaa (setiap fase ada orangnya,
tokohnya atau kadernya).
Kemudian, apa yang kita
sampaikan ketika dakwah ini mengalami satu fase yang berbeda dengan masa lalu?
Kemarin dakwah berhasil melalui masa-masa sulit, mengayuh diantara dua
persoalan dan kondisi, yakni kondisi melawan arus yang tidak terlawan dengan
kekuatan yang secara thobi'i (alami) susah dihadapi secara face to face, serta
kondisi larut.
Memang, dalam fase itu,
kita lihat banyak juga yang tidak memiliki istimroriyah (kesinambungan),
kontinyunitasnya tidak jelas. Kalaupun ada yang berjalan terus,
perkembangannnya menyedihkan. Ada juga yang berkembang tapi kehilangan asholah
(orisinalitas). Ini adalah kasus-kasus perjalanan dakwah dalam menghadapi rezim
yang represif dan tekanan budaya. Bisa jadi banyak yang larut. Seperti para
pengikut Nabi Isa, setelah beberapa lama malah jadi pengikut penjajah yang
nyaris menyalib Nabi Isa sendiri.
Nah, kita ingin,
keberhasilan melewati masa-masa kritis dan sulit semacam itu juga bisa kita
capai ketika keadaan ini berubah, karena tidak otomatis daya tahan itu ada.
Makanya harus dicanangkan sesuatu agar apa-apa yang menjadi doktrin Tarbiyah di
atas, bisa direalisasikan.
Bisa jadi, kader yang
dulu tahan menderita lama, tiba-tiba ketika segalanya terbuka seperti sekarang
ini, menjadi tidak tahan lagi. Kalau dulu kan jelas sekali perbedaannya,
furqon-nya, antara haq dan batil, sehingga akhlak para kader itu selalu
berlawanan dengan akhlak buruk orang-orang memusuhi mereka. Nah, setelah
keadaan ini terbuka, apa ada jaminan bahwa mereka tidak akan larut?
Memang, secara doktrin
sudah diantisipasi, misalnya dengan pemahaman tentang tamayyu' (mencairnya
nilai-nilai), idzabah (pelarutan), istifdzadzat (provokasi), ighra'at
(rayuan-rayuan), dan mun'athofat (tikungan-tikungan). Secara teoritis kita tahu
semua tentang itu. Tapi ketika kita menjalaninya, apakah kita cukup siap?
Maka pencanangan ini
beranjak dari kenyataan, dimana sebuah komunitas dakwah sedang mengalami
fase-fase lain yang berbeda dengan fase ketika mereka dibesarkan dulu.
Pencanangan ini untuk menyiapkan sesuatu yang secara teoritis sudah mereka kenal,
tetapi secara komunal, penghayatan, apresiasi perlu dihadapi secara lebih
serius agar tidak menimbulkan persoalan yang rumit yang menyebabkan taurits
(pewarisan) itu menjadi terputus.
Dulu dimulai satu langkah
dan hasilnya adalah hari ini. Bagi yang tidak mau melihat hasil yang sama di
hari nanti, ya sekarang diam dan tidur saja. Tapi kalau ingin melihat
terus-menerus keadaan seperti ini, maka harus bergerak untuk masa mendatang.
Ini terutama yang melatarbelakangi pencanangan 'Aam At-Tarbiyah (Tahun Tarbiyah).
Tapi perlu dicatat bahwa
pengertian tarbiyah (pendidikan) ini tidak menafikan proses tarbiyah yang
terjadi di Indonesia sejak dulu. Tanpa proses tarbiyah, bagaimana mungkin
walisongo dapat melahirkan pejuang-pejuang handal. Apapun namanya, apakah itu
pengkaderan dengan 't' kecil (tarbiyah), yang jelas itu adalah proses
pendidikan. Namun Tarbiyah yang sedang kita perbincangkan dalam konteks ini
adalah dengan 't' besar, Tarbiyah (sebagai nama sebuah gerakan, red).
Wanti-wanti tentang
pelarutan ini pernah Anda sampaikan waktu Munas PK tahun 2000. Apakah memang
anda sendiri sudah melihat kecenderungan itu, sehingga perlu ada pencanangan
ini?
Kalau kita baca sirah
(sejarah), Rasululllah pernah berpesan diantaranya "ma al-faqru bi akhsya
alaikum, bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian, tapi aku
mengkhawatirkan apabila bumi di buka (dimenangkan) lalu kamu bersaing
memperebutkan dunia, sehingga kamu celaka, sebagaimana celakanya orang-orang
sebelum kamu." Dulu, kesulitan itu membuat segalanya terbatas, dan kita berhasil
melewatinya. Contohnya, kita tidak punya villa, tapi bisa menikmati banyak
villa. Dan kawasan Puncak (Bogor, red) yang dianggap identik dengan maksiat,
seperti hari ini bisa berubah sebagai tempat acara pengajian karena seringnya digunakan
untuk pengkaderan oleh semua pihak, diantaranya oleh kalangan Tarbiyah.
Wanti-wanti rasul itu,
dalam kaitan ini, menegaskan bahwa setiap kondisi ada pengaruhnya. Kalau dulu,
setiap waktu mereka bisa bertemu, sehingga kesalahan sedikit saja bisa langsung
diketahui. Tapi ketika mereka sudah ada di kawasan yang menggiurkan, secara
massal tantangan akan semakin keras. Sesuatu yang menggiurkan, kalau baru
cerita, masih bisa bilang tidak mau. Tapi kalau sudah sudah di depan mata,
bagaimana mungkin tidak tidak tergoda.
Supaya tidak larut,
mereka jangan sampai lupa kepada akarnya. Makanya, pemantapan nilai Tarbiyah
dalam pencanangan ini tidak bisa kita abaikan, meskipun sekarang mereka masih
rutin bertemu setiap pekan dengan muhasabah (evaluasi) dan muraqabah
(pengawasan).
[hidayatullah.com]
Dikutip ulang dari buku "Untukmu Kader Dakwah" By. KH. Rahmat Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar