Abu Hanifah - Pribadi yang Seimbang
Abu Hanifah an Nu'man bin Tsabit bin Zautha, lahir pada tahun 80 H
(660 M) dan tinggal di Kufah. Orang tuanya berasal dari keturunan Persia dan
ketika ia masih dalam kandungan di bawa pindah ke Kufah dan menetap disini hingga
Abu Hanifah lahir.
Menurut cerita, ketika Zautha bersama anaknya Tsabit (ayah Abu
Hanifah) berkunjung kepada Ali bin Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang
ini didoakan agar mendapat keturunan yang mulia. Abu Hanifah dibesarkan di
Kufah dan di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya. Setelah itu bepergian ke Hijaz, terutama di Mekkah dan
Madinah untuk menambah dan memperdalam ilmu dan wawasan yang luas. Ia berusaha
memahami pemikiran hukum yang bersumber dari Umar dan Ali bin Abi Thalib
melalui sahabat-sahabat mereka. Termasuk diantaranya ialah Hammad bin Abi
Sulaiman, Ibrahim an Nakhai, Abdulah bin Mashud, dan Abdulah bin Abbas. Ia
pernah bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah seperti Anas bin Malik,
Abdullah bin Auqa di Kufah, Sahal bin Sa'ad di Madinah dan Abu Thufail Ibnu
Wailah di Mekah.
Karya karyanya yang sampai kepada kita adalah kitab al-Fiqul Akbar,
kitab Al-Risalah, kitab Al-'Alim wal Mutallim dan kitab Al-Washiyah. Tidak ada
buku fiqih karya Abu Hanifah. Meskipun demikian tulisan murid-muridnya telah
merekam secara lengkap semua pandangan fiqih Abu Hanifah hingga menjadi ikutan
kaum muslimin. Muridnya antara lain Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Auza'i, Zafr bin
al-Ajil bin Qois, Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibani dan al-Hasan bin
Ziyad al-lu'lu'i. Murid-murid inilah yang merekam dan menulis pemikiran Abu
Hanifah, baik bidang akidah maupun bidang hukum. Murid-murid di bidang tasawuf
antara lain Ibrahim bin Adham Fudhail bin 'Iyad, Dawud al-Tha'i dan Bisyt
al-Hafi.
Abu Hanifah memiliki ilmu yang luas dalam semua kajian Islam hingga
ia merupakan seorang mujtahid besar (imamul a'zham) sepanjang masa. Meskipun
demikian ia hidup sebagaimana layaknya dengan melakukan usaha berdagang dalam
rangka menghidupi keluarga. Dengan prinsip berdiri di atas kemampuan sendiri,
ia prihatin juga terhadap kepentingan kaum muslimin, terutama bagi mereka yang
berhajat akhlak yang mulia yang dimilikinya mampu mengendalikan hawa nafsu,
tidak goyah oleh imbauan jabatan dan kebesaran duniawi dan selalu sabar dalam
mengahadapi berbagai cobaan. Meskipun ia berdagang ia hidup sebagai kehidupan
sufi dengan zuhud, wara, dan taat ibadah. Kalau kita hayati kehidupannya maka
akan nampak kepada kira bahwa Abu Hanifah hidup dengan ilmu dan bimbingan umat
dengan penuh kreatif, hidup dengan kemampuan sendiri tidak memberatkan orang
lain. Disamping menjalankan usaha dagangnya. ia juga hidup dengan ibadah yang
intensif siang dan malam.
Selama hidupnya beliau berhasil melaksanakan tawazzun (keseimbangan).
Di samping sebagai seorang faqih dengan kemampuan intelektual yang cemerlang,
beliau juga mengkhususkan waktu untuk mencari nafkah dengan berdagang, dan
beliau juga ahli ibadah. Beliau dikenal amat pemurah, berbudi pekerti luhur dan
suka memuliakan orang lain, tanpa pandang bulu siapa orang tersebut. Disamping
itu beliau lebih suka memberi daripada menerima.
Saat Khalifah al-Manshur akan mengangkat hakim agung dengan memiliki
salah satu diantara 4 orang ulama besar: Abu Hanifah, Sofyan Tsauri, Mis'ar bin
Kidam, dan Syuraih. Sementara mereka berjalan bersama menemui Khalifah, Abu
Hanifah bekata kepada para sahabat-sahabatnya: "Aku akan menolak jabatan
ini dengan cara tertentu. Mis'ar hendak menolaknya dengan berpura -pura menjadi
gila, Safyan Tsauri akan lari ke negeri lain dan Syuraih agar dapat menerima
jabatan ini." Sofyan lalu kabur pergi ke pelabuhan untuk naik kapal menuju
negeri lain. Yang lain melanjutkan dan bertemu kalifah dalam sebuah pertemuan
resmi. Khalifah berkata kepada Abu Hanifah: "Engkau harus bersedia menjadi
hakim agung." Abu Hanifah menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, aku bukan
orang Arab dan pemimpin-pemimpin Arab tidak akan menerima
keputusan-keputusanku. Karena itu aku merasa bahwa aku tidak cocok untuk jabatan
ini." Khalifah berkata: "Jabatan ini tidak ada kaitannya dengan
masalah keturunan melainkan berkaitan dengan keahlian. Dan engkau adalah
seorang ulama terkemuka di masa ini." Abu Hanifah berkata: "Wahai
Khalifah, apa yang baru kukatakan menunjukkan bukti bagaimana keberadaan saya.
Jika telah kukatakan aku tidak cocok, dan apabila ini adalah sebuah kebohongan
tentu aku tidak cocok dan juga tentu tidak dibenarkan seorang pendusta menjadi
hakim atas kaum muslim dan tidak dibenarkan pula engkau mempercayai kepada
kehidupan kekayaan dan kehormatan yang engkau miliki." Lalu Mis'ar tampil
ke muka dengan menjabat tangan khalifah dan bertanya macam-macam yang tidak
layak hingga khalifah marah dan menyatakan gila dan khalifah meminta Syuraih
untuk menjadi hakim agung tersebut, dan menolaknya setiap alasan yang
dikemukakannya.
Suatu kali Khalifah Abu Ja'far al Manshur, yang terkenal jarang
memberi sedekah kepada orang lain, menawarkan harta sebanyak 10.000 dirham
kepada Abu Hanifah, namun beliau menolaknya sembari mengatakan, "Wahai
Khalifah, aku orang asing di Baghdad, aku tak memiliki tempat yang aman untuk
menyimpan harta tersebut. Simpanlah harta itu di Baitul Maal, sehingga jika
kelak aku membutuhkannya aku dapat memintanya darimu." Seorang sahabatnya
berkata kepadanya: "Kepada anda diberikan dunia anda menolaknya padahal
anda berkeluarga." Abu Hanifah menjawab: "Keluargaku kuserahkan
kepada Allah, sedang makananku sebulan cukup dua dirham saja."
Di Kufah, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang yang sangat dipercaya
karena sikap amanahnya, kemurahan hati dan kejujuran yang beliau miliki.
Sikap-sikap inilah yang senantiasa menjadikan dagangan beliau laku
keras. Dan lewat usahanya ini, Allah menganugerahkan rizki yang melimpah kepada
Abu Hanifah. Setiap akhir tahun disisihkannya sebagian dari keuntungannya untuk
dizakatkan, dan disumbangkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Abu Hanifah punya mitra dagang bernama Hafs Abdurrahman. Dia inilah
yang menjalankan dagangan Abu Hanifah ke para konsumen. Suatu ketika Abu
Hanifah menyiapkan dagangan untuknya dengan memberikan wanti-wanti bahwa pada
barang dagangannya yang tertentu ada cacatnya. "Jika engkau ingin
menjualnya, jangan lupa jelaskan pada para pembeli tentang cacat yang ada pada
barang tersebut", pesan Abu Hanifah.
Semua barang tersebut akhirnya terjual habis, namun Hafs lupa
memberikan penjelasan kepada para pembeli tentang cacat yang ada pada beberapa
barang seperti yang dipesankan Abu Hanifah. Setelah menyadari kesalahannya,
Hafs berusaha untuk mencari para pembeli barang tersebut, tapi usahanya itu
sia-sia.
Akhirnya masalah tersebut diketahui Abu Hanifah, sehingga beliau
juga berusaha mencari para pembelinya. Namun usaha tersebut juga tidak membawa
hasil. Sejak saat itu Abu Hanifah selalu gelisah dan murung. Akhirnya untuk
menebus kesalahannya tersebut, segera bersedekah sebanyak 30.000 dirham.
Dalam kehidupan, disamping memiliki akhlak dan tingkah laku mulia,
ia selalu menjaga kesucian diri dan harta, disamping ia selalu dalam
peribadahan selama 40 tahun Abu Hanifah memenuhi malam malamnya dengan shalat
dan selama itu shalatnya Subuh dilaksanakan dengan wudhu pada waktu Isya. Dan
dalam shalatnya itu dibacanya Al-Quran dan konon ketika ia meninggal ia telah
menghatamkan al-Quran 7000 kali.
Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama
temuan-temuannya dibidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya sejumlah
60.000 masalah hingga di digelar dengan Imam al-A'zdam dan kuluasan ilmunya itu
diakui oleh Imam Syafi'i beliau berkata: "Manusia dalam bidang hukum adalah
orang yang berpegang kepada Abu Hanifah."
Tampak ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga
meliputi bidang lainnya termasuk tasawuf. Menurut Yahya bin Mu'azd al-Razi
dalam suatu mimpi ia bertemu dengan Rasulullah dan bertanya: "Wahai Rasulullah
di mana akan aku cari engkau?" Rasulullah menjawab: "Di dalam ilmu
Abu Hanifah," demikian Rasulullah.
Ketika Daud al-Tha'i telah beroleh ilmu yang luas dan sudah mencapai
popularitas yang tinggi dia berkunjung menemui Abu Hanifah seraya berkata:
"Saya mohon diberikan wejangan dan petujuk." Abu Hanifah berkata:
"Amalkan apa yang telah engkau pelajari, karena teori tanpa praktek ibarat
tubuh tanpa roh." Petunjuk ini menghendaki adanya mujahadah dan dengan
mujahadah akan didapat musyahadah.
Bulletin Al-Maidah, 13 Syawal 1417
Tidak ada komentar:
Posting Komentar